Konsep Ruang Baca Literat

Opini

Iyus Jatikusumah
8 min readDec 24, 2023

Apersepsi

Usaha menumbuhkembangkan budaya membaca bukan perkara mudah. Sekian banyak buku-buku di rak perpustakaan belum menjamin kualitas literasi siswa dinilai baik.

Mungkinkah hal itu disebabkan oleh faktor lingkungan dan ruang baca yang kurang menarik? Kita akan dapat menemukan jawabannya melalui evaluasi kritis kegiatan kepustakaan di sekolah.

Ilustrasi: paxels.com

Program Gerakan Literasi Nasional sudah dicanangkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sejak tahun 2016 melalui Permendikbud Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti.

Di dalamnya termaktub poin, “Menggunakan 15 menit sebelum pembelajaran untuk membaca buku selain buku mata pelajaran (setiap hari)” (hal.7).

Kewajiban itu dilaksanakan untuk mengembangkan potensi diri siswa secara utuh. Meskipun anjuran itu telah diterapkan, tetapi kenyataannya, masih saja minat siswa berliterasi melalui aktivitas membaca masih rendah. Jika sudah begini, implementasi Gerakan Literasi Sekolah akan semakin jauh dari harapan pendidikan nasional.

Majalah Jendela Pendidikan dan Kebudayaan edisi VI-Oktober 2016 menyebutkan ciri-ciri ekosistem sekolah yang literat antara lain menyenangkan dan ramah anak, sehingga menumbuhkan semangat warganya dalam belajar; semua warganya menunjukkan emosi, peduli, dan menghargai sesama; menumbuhkan semangat ingin tahu dan cinta pengetahuan; memampukan warganya untuk cakap berkomunikasi dan dapat berkontribusi kepada lingkungan sosialnya, mengakomodasi partisipasi seluruh warga dan lingkungan eksternal sekolah (halaman 5).

Buku, Membaca, dan Ekosistem Literasi

Buku adalah jendela ilmu atau jendela dunia. Sebuah jendela tak bisa dipajang dengan indah jika tidak ada rumah sebagai bangunan utamanya. Begitu pula sebuah jendela dunia tak bisa kita buka jika tak ada ruang yang siap menampung dan memberikan sisi terbaik kehadiran jendela ilmu itu.

Kita dapat membuka mata hati tatkala siswa risih dengan kegiatan membaca. Apa yang salah dari diri siswa? Enggan membuka buku, malas mencari tahu, atau tidak ada tuntutan yang mengharuskan membuka buku? Atau mungkin, kecenderungan siswa di rumah sama sekali tidak distimulus untuk cinta terhadap buku? Segala kemungkinan pasti berhubungan erat dengan kondisi sekitar.

Sudah sepatutnya perpustakaan di sekolah mana pun menjadi ruang ramah singgah. Selain rak-rak buku, sebuah ruang perpustakaan hendaknya dilengkapi berbagai akses penunjang belajar. Apakah berbentuk internet, surat kabar harian, atau ruang terbuka hijau agar tidak melulu disuguhi suhu dingin AC.

Tak kalah penting, pustakawan sebagai penyedia layanan jendela ilmu penting memiliki keterampilan mengelola. Juga yang paling mendasar adalah kehadiran Kartu Anggota perpustakaan sebagai basis manajemen perbukuan. Kartu ini bukan saja dimiliki oleh siswa, alangkah baiknya, dalam mengembangkan minat literasi, seluruh warga sekolah berhak memilikinya.

Terdapat tujuan khusus Gerakan Literasi Sekolah yang disarankan Mendikbud. Beberapa di antaranya ialah menjadikan sekolah sebagai taman belajar yang menyenangkan dan ramah anak agar warga sekolah mampu mengelola pengetahuan.

Di sisi lain, sekolah perlu menjaga kelangsungan pembelajaran dengan menghadirkan beragam buku bacaan. Sekolah seyogyanya memiliki wahana membaca yang ramah serta dilengkapi beragam bacaan penunjang/referensi mata pelajaran.

Buku Laporan Gerakan Literasi Sekolah Semeter II Tahun 2016 mengatakan, “Untuk mendapatkan bahan bacaan yang berkualitas, penyediaan bahan bacaan sedianya tidak hanya menyentuh aspek konten, melainkan juga sistem yang menjadi ekosistem perbukuan”.

Ekosistem dapat kita maknai sebagai suatu lingkungan komunitas yang berinteraksi satu sama lain. Siswa berhak memperoleh akses literasi informasi melalui membaca buku dengan lancar. Penyediaan ruang baca yang berkualitas melibatkan banyak pihak dan bukan hanya kewenangan pustakawan dalam mengelola.

Guru harus turut andil memberikan sumbangsih gagasan desain ruang baca, lingkungan yang membudayakan membaca, atau strategi lain agar budaya baca dapat dikembangkan. Guru harus mampu menjadi garda terdepan penyuplai kehadiran buku dan aktivitas literasi kepada komunitas belajar siswa.

Kehadiran buku di sekolah, ruang baca, pojok baca, atau tempat-tempat lain harus dapat dijangkau oleh siswa. Aneka ragam buku saja tidak cukup untuk menarik perhatian siswa. Perlu kehadiran forum diskusi yang sanggup mengaktifkan ruang baca yang nyaman, aman, teduh dan layak disinggahi siapapun.

Agar komunitas maupun ekostistem literasi dapat menjangkau ketenteraman membaca, jauhkanlah lokasi tersebut dari hiruk pikuk keramaian. Jangan sampai suara bising kendaraan atau percakapan manusia sekitar dapat mengacaukan ketenangan siswa dalam membaca, yang orang sekarang menyebutnya dengan istilah Toxic. Selain itu, kerapian dan kebersihan juga perlu diperhatikan.

Area Literasi Kekinian

Sesekali kita patut melirik eksotisme Taman Literasi SMA BPI 1 Bandung. Ruang baca berdaya tampung 30 orang tersebut memiliki keunikan dan daya saing literasi.

Gambar: Disdik Jabar

Di dalamnya tersedia meja dan kursi yang banyak serta dilengkapi tanaman hijau beserta kolam ikan hias yang siap meneduhkan suasana pembacanya. Tenteram dan kondusif lingkungannya, jauh dari keriuhan, apalagi bising kendaraan. Pencahayaan yang baik menjadikan taman ini dikunjungi oleh siswa setiap jam istirahat berbunyi. Tersedia pula buku fiksi dan non-fiksi Bahasa Ingris atau Bahasa Sunda sebagai referensi belajar.

Buku-buku yang disediakan di Taman Literasi ini merupakan sumbangsih siswa SMA BPI 1. Sejak tahun 2017, jumlah buku yang telah mengisi lemari putih itu berkisar 300 (atau lebih) eksemplar. Beragam kategori buku mulai dari sastra, biografi, novel, agama, motivasi, serta buku kesukaan siswa lainnya dapat dipinjam secara berkala.

Di lain almamater, testimoni seorang alumni SMA Negeri 1 Banjaran Kab. Bandung turut menyegarkan kita bahwa untuk menjadikan warga sekolah yang literat, harus distimulus dengan suasana ruang bacaan yang bernuansa estetis-didaktis.

Di sana tersedia Pusat Kegiatan Literasi selain perpustakaan sekolah. Ialah Anisa Rahayu, alumni dengan segudang prestasi menuturkan, “Kami juga senantiasa menggunakan Pusat Kegiatan Literasi sebagai media latihan menulis dan membaca puisi”.

Pusat Kegiatan Literasi telah menghasilkan siswa-siswi berprestasi di bidang Bahasa dan Sastra seperti yang disematkan kepada Anisa, ia memperoleh juara 2 lomba baca puisi yang diselenggarakan oleh Sastra Sekolah Yogyakarta.

Berbeda halnya dengan SMK Negeri 3 Bandung. Ruang Bimbingan dan Konseling (BK) diubah dari ruang yang mengerikan bagi siswa menjadi ruang yang digemari. Sebab, di dalamnya diisi buku-buku bacaan yang variatif.

Letaknya yang strategis, sering dilalui siswa saat menuju kantin dan lapangan, membuat pintu ruang BK itu seolah selalu mempersilakan siswanya masuk. Siswa dapat memasukinya kapan saja. Selain untuk menumbuhkan budaya baca, keunikan ini juga berperan mempererat kedekatan siswa dengan guru BK.

Mari menelisik sedikit ke SMA Negeri 9 Bandung yang tak kalah menawan. Sekolah yang berdekatan dengan Bandara Husein Sastranegara ini telah meresmikan Barisan Literasi OK (BALOK) yang dikelola oleh salah satu guru (dikutip dari kumparan.com).

Gambar: Kumparan.com

Siswa dapat mencurahkan ide dan gagasan melalui tulisan yang ditempelkan di Teras Literasi. Untuk melewati anak tangga, warga sekolah disuguhkan dengan tulisan-tulisan kreatif sebagai usaha memberikan wawasan dan keindahan lingkungan.

Bergeser sedikit ke SMK Negeri 7 Bandung, kebijakan “moving class” mewadahi setiap pengampu mata pelajaran dalam mengembangkan potensi literasi. Agar siswa semakin akrab dengan literasi, setiap ruang kelas mata pelajaran diperkaya dengan lemari berisi buku-buku referensi. Siswa dapat membacanya kapan saja bahkan di sela-sela waktu luang. Seperti yang dilakukan Aldhia, alumni dari Kompetensi Keahlian Analis Kimia ini gemar memilih buku yang enak dibaca bersama teman-temannya.

Praktik baik literasi dari sekolah-sekolah di atas semestinya dapat menginspirasi sekolah lain agar lebih giat menumbuhkan gerakan literasi.

Buku Panduan GLS SMK memberikan inspirasi sudut baca di kelas yang dapat kita tiru sebagai berikut (2016: 81):

  1. memiliki pencahayaan dan sirkulasi udara yang cukup baik;
  2. memiliki lantai yang selalu dalam kondisi baik dan bersih;
  3. memiliki rak buku yang baik dan tidak membahayakan peserta didik;
  4. memiliki koleksi buku-buku yang tersimpan pada raknya dengan aman.

Selain taman atau ruangan, warga sekolah dapat merekayasa ruang bacaan di mana pun. Bahkan di ruang/gudang yang dinilai sudah tak terpakai. Guru dituntut kreatif dalam menciptakan wahana belajar sesuai kondisi lapangan.

Terkadang, ruang kelas yang ada pun sesekali membuat siswa jenuh. Melalui penciptaan ruang ramah membaca, kita sebetulnya sedang mengubah konsep ruang belajar dari kelas reguler menjadi kelas inspiratif, kreatif, dan multiliterasi. Akibatnya, guru sebagai pemindah kemah (Mulyasa, 2011) dapat dicapai hanya dengan kepekaan menciptakan tempat membaca.

Mari Berliterasi

Buku Siswa Bahasa Indonesia yang menjadi pedoman pada Kurikulum 2013 (edisi revisi 2016) menekankan bahwa kegiatan literasi dapat berupa membaca buku fiksi dan nonfiksi.

Kegiatan dalam pembelajaran bahasa Indonesia ini bertujuan untuk memperkaya pengetahuan dan nilai yang terkandung dari buku. Selanjutnya, siswa diajak untuk mampu melaporkan hasil bacaannya melalui keterampilan menulis.

Akan tetapi, aktivitas padat tersebut belum menerangkan dimana dan bagaimana seharusnya kegiatan literasi secara efektif dapat dilakukan. Kemungkinan untuk dilaksanakan di sekolah juga mengharuskan alokasi waktu yang tidak singkat.

Kondisi siswa saat ini membutuhkan sebuah area yang terhindar dari gangguan luar. Untuk mengakomodasi minat baca siswa, terobosan baru yang mudah dilakukan adalah memperkaya sarana ruang (kelas, perpustakaan) baik indor atau outdoor yang tersedia menjadi lebih elegan untuk membaca, serta pada waktu yang fleksibel.

Usaha tersebut memerlukan dukungan dan daya kreativitas antara guru dan siswa. Sebut saja siswa yang memiliki keahlian membuat desain visual perlu diikutsertakan dalam merekayasa ruang baca agar lebih modern, estetis, dan humanis.

Seperti anak tangga di SMA Negeri 9 Bandung yang anggun dengan rupa-rupa hiasan literasi di dindingnya. Kolaborasi dibutuhkan guna mempercepat perkembangan aktivitas literasi.

Pegiat literasi sekolah dapat mengombinasikan berbagai elemen warga sekolah. Antara lain guru, siswa, staf, hingga caraka dalam membangun ekosistem literasi. Wahana itu tidak hanya terbatas oleh ruang dan tempat, melainkan juga teras, serambi, koridor, pojok kelas, tembok-tembok luar, pagar, tiang, kebun, halaman, dapat disusun secara kreatif untuk mengunggah budaya baca.

Jika target area literasi terletak di ruangan bagian dalam, guru bersama siswa dapat memberikan aturan inovatif nonverbal yang disepakati bersama. Misalnya, sertakanlah simbol, tanda, atau seni visual lainnya di luar rambu-rambu yang sudah ada atau mainstream seperti buanglah sampah pada tempatnya atau dilarang merokok.

Kita bisa memajang tanda larangan berbicara nyaring, anjuran antre saat memilih buku, juga ungkapan/peribahasa di dinding. Begitu juga jika ekosistem literasi menarget area luar. Seni rupa seperti slogan, poster, lukisan, grafiti, hingga hiasan-hiasan rak buku akan dapat menyuntik kesan estetis sejauh mata memandang.

Meminjam pernyataan Pratiwi dalam Buku Merayakan Literasi Menata Masa Depan, (2017: 68), “Yang menentukan keberhasilan program GLS adalah staf pengajar yang memiliki kecintaan terhadap buku dan kegiatan membaca. Para staf pengajar juga perlu memiliki kesamaan persepsi tentang pentingnya program literasi di sekolah”. Dengan demikian usaha kita selaku pengajar harus ditanamkan mulai saat ini dalam menjadikan kegiatan membaca sebagai ritual rutin yang dicintai siswa.

Jika gerakan pemberdayaan ruang literasi sudah digiatkan, selanjutnya, ada beberapa acara yang saya sarankan dalam rangka mengembangkan literasi lebih luas, yaitu:

  1. Pameran buku
  2. Penganugerahan Reading & Writing Award (kelompok/perseorangan)
  3. Festival Literasi, gelar karya, dll.

Mulailah membawa helai demi helai surat kabar, eksemplar demi eksemplar buku, majalah, atau tabloid berpendidikan. Berikan teladan yang baik di mata siswa dengan membaca. Di mana saja, kapan saja, apa pun buku yang dibaca, selama itu tidak bertentangan dengan nilai moral, berdayakanlah!

Mari kita singkirkan persepsi masyarakat atau dunia bahwa literasi di Indonesia berada jauh di bawah nilai kewajaran. Semoga bermanfaat.

Rujukan

  1. Laman kumparan.com yang diunggah pada 29 Januari 2018 berjudul Menghidupkan Teras Literasi di SMA Negeri 9 Bandung oleh Mega Egga (diakses Minggu, 25 Februari 2018 pukul 11.02 WIB).
  2. Mulyasa, E. 2011. Menjadi Guru Profesional. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
  3. Tim Penyusun. 2017. Merayakan Literasi Menata Masa Depan. Jakarta: Kemdikbud.
  4. Buku Laporan GLS Semester II Tahun 2016 Dirjen Dikdasmen Kemdikbud.
  5. Buku Siswa Bahasa Indonesia Kelas X Tahun 2016.
  6. Panduan Gerakan Literasi Sekolah di SMK Dirjen Dikdasmen Kemdikbud (2016).
  7. Permendikbud Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti.
  8. Photo by Pixabay: https://www.pexels.com/photo/full-length-of-man-sitting-on-floor-256431/

Responden

Terdapat pula beberapa responden yang membantu memberikan informasi dalam artikel ini:

  1. Anisa Rahayu, alumni SMA Negeri 1 Banjaran Kab. Bandung.
  2. Aldhia Firzain Zakyanisa, alumni SMK Negeri 7 Bandung.

--

--

Iyus Jatikusumah
Iyus Jatikusumah

Written by Iyus Jatikusumah

30 th | Bandung | Instagram: @iyusjatikusumah | Fiksi, Puisi, dan Opini